Selasa, 26 Maret 2013

Pola Interaksi dalam Kritik Sastra



POLA INTERAKSI SAHIBUL MENARA DALAM NOVEL “NEGERI 5 MENARA” KARYA A. FUADI

ABSTRAK
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terjadi interaksi antar individu, begitu juga kehidupan tokoh Alif, Raja, Said, Atang, Dulmajid, dan Baso. Hal ini dapat dikaji menggunakan teori Simmel yang menganggap bahwa masyarakat terbentuk dari interaksi nyata antar individu. Setidaknya ada tiga variasi dalam pola ini, yaitu subordinasi di bawah seorang individu, subordinasi di bawah kelompok, dan subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal, misalnya ajaran agama atau hukum Negara.
Subordinasi di bawah individu ini berdasarkan ketundukan atau kepatuhan sahibul menara pada orang tua mereka masing-masing. Subordinasi di bawah kelompok ini berarti kedudukan atau lebih pada kesadaran diri tokoh di bawah kelompok. Kelompok yang dimaksud adalah sahibul menara yang berangotakan  Alif, Raja, Said, Baso, Atang, dan Dulmajid. Subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal yaitu ketundukan atau kepatuhan sahibul menara terhadap hukum yang ada di PM, yang disebut qanun.
Kata kunci: subordinasi, interaksi
Konsep sosiologi karya sastra didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang yang merupakan pribadi yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan ditengah-tengah masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan resiprokal dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Pendek kata, karya sastra tidak lahir dari kekosongan sosial (social vacuum).
Ratna (2004: 332-333) menulis bahwa ada 5 pertimbangan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat.
1.      Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceeritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
2.      Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3.      Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4.      Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketika aspek tersebut.
5.      Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Namun, tatahubungan tersebut sering dianggap ambigu, bahkan diingkari. Ratna (2004: 335-336) mengemukakan di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan menampilkan unsur-unsur sosial. Alasannya adalah (1) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas, (2) bahasa novel cenderung bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.
Faruk (2010: 22-37) merangkum ada 5 teori besar tentang masyarakat yang berguna saat kritikus akan mengaji karya sastra dari paradigma sosiologinya.
1.      Auguste Comte: Masyarakat dalam perkembangan intelektual
Menurut Comte terdapat 3 tahap perkembangan masyarakat, yaitu tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif. Ketiga tahap tersebut merupakan tiga tahap perkembangan intelektual manusia.
2.      Karl Max: Masyarakat sebagai medan pertarungan kepentingan ekonomi
Bagi marx perkembangan intelektual manusia ditentukan oleh kondisi material kehidupan manusia. Jadi kebutuhan material mendahului kesadaran. Oleh karena itu, teori marx sering disebut materialisme historis.
3.      Emile Durkheim: Masyarakat sebagai kesatuan intgratif yang mandiri
Durkheim cenderung memahami bangunan masyarakat sebagai hasil dari sebuah kebersamaan yang disebutnya sebagai solidaritas sosial.   
4.      Max Weber: Masyarakat sebagai jaringan tindakan sosial yang bermakna
Bila Durkheim memandang masyarakat dari solidaritas sosial, Weber mengangkat teori rasionalitas. Menurut Weber bangunan sosial secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari tindakan sosial warganya dan pemaknaan yang diberikan warga atas tindakan itu.
5.      Georg Simmel: Masyarakat sebagai interaksi
Simmel menganggap bahwa masyarakat terbentuk dari interaksi nyata antarindividu. Oleh karena itu, pemahaman mengenai masyarakat pada level struktural yang makro harus berpijak pada interaksi sosial yang teramati pada level mikro, misalnya interaksi dalam silaturahmi atau pergaulan sehari-hari, interaksi antarsepasang kekasih, dan sebagainya.
 Negeri 5 Menara (selanjutnya disingkat NLM) menampilkan hubungan antara orang tua dan anak, guru dan murid, serta hubungan antar murid. Alif yang selama hidupnya tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau, dengan setengah hati harus merantau ke pulau Jawa untuk mengikuti perintah ibunya: belajar agama. Di hari pertama di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada yang diteriakkan dengan lantang oleh wali kelasnya, Ustad Salman. Dipersatukan oleh hukuman, Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid,  mereka jadikan tempat berkumpul sambil menunggu shalat maghrib berjamaah di masjid. Di tempat inilah mereka suka menatap awan lembayung yang berarak ke ufuk. Awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. dan karena kebiasaan mereka yang berkumpul di bawah menara mereka mendapat julukan sahibul menara.
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti terjadi interaksi antar individu, begitu juga kehidupan tokoh Alif, Raja, Said, Atang, Dulmajid, dan Baso. Hal ini dapat dikaji menggunakan teori Simmel yang menganggap bahwa masyarakat terbentuk dari interaksi nyata antar individu. Salah satu temuan Simmel yang terpenting adalah pola interaksi superordinasi dan subordinasi, yang melibatkan superordinat dan subordinat. Setidaknya ada tiga variasi dalam pola ini, yaitu subordinasi di bawah seorang individu, subordinasi di bawah kelompok, dan subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal, misalnya ajaran agama atau hukum negara.
1.    SUBORDINASI DI BAWAH INDIVIDU
Subordinasi adalah kedudukan bawahan, makna yang tersirat di sini adalah ketundukkan atau kepatuhan seoseorang terhadap orang lain, kelompok lain, atau hukum atau negara tempat di mana seseorang itu tinggal atau kesadaran diri bahwa memang keadaan ekonomi, kepintaran, kesungguhan hati seseorang itu berada di bawah orang lain. Subordinasi dalam novel ini berarti ketundukan atau kepatuhan tokoh terhadap orang tua, dan hukum atau peraturan yang ada di PM serta kesadaran bahwa dalam kelompok atau istilahnya pada zaman sekarang adalah geng, tokoh itu berada di tingkat bawah dari anggota geng yang lain dalam hal ekonomi dan pelajaran. Subordinasi di bawah individu pada tokoh Alif adalah ketundukkan atau kepatuhan tokoh Alif saat ibunya meminta dia untuk lebih memilih sekolah agama yang berujung tokoh Alif menjadi murid PM padahal sebenarnya dia ingin bersekolah di sekolah umum di Bandung. Namun karena Ibunya menginginkannya menjadi Buya Hamka, maka diikhlaskanya keinginan menjadi Habibie. Hal tersebut terungkap sebagai berikut.
“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Buya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata Amak pelan-pelan.
....... Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah (Fuadi, 2012:8)
Namun Alif ternyata masih ragu dengan keputusannya memilih untuk belajar agama di PM, pada saat dia kelas enam yang beberapa bulan ke depan ada ujian akhir, dia merasakan kegamangan antara sekolah umum dan sekolah agama khususnya PM karena ternyata PM tidak mengeluarkan ijazah seperti sekolah umum sehingga dia harus mengubur satu impiannya lagi yaitu masuk ITB bila dia tetap di PM. Hal ini dia ceritakan kepada orang tuanya melalui surat, tapi lagi-lagi Alif memilih patuh pada keinginan orang tuanya meski tanpa alasan yang kuat. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.
Tanpa kesadaran penuh, kepalaku mengangguk. Berbagai skenario argumentasi yang aku persiapkan menguap. Aku tidak tahu apa yang membuat perlawananku runtuh dengan mudah. Apakah karena hatiku perang dan tidak ada pemenang yang sesungguhnya antara tetap tinggal di PM atau keluar? Toh ditengah segala galau aku juga menemukan dunia yang menyenangkan di PM? Ataukah kekuatan diplomasi durian Ayah yang membuatku lemah? Atau pengorbanan beliau melintas Sumatera dan Jawa, hanya untuk memastikan aku tetap tinggal di PM. Atau karena mendengar akan ada ujian persamaan dalam 8 bulan? Atau semuanya? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas mulai detik itu, di meja kantin itu, di depan Ayah, aku berjanji: aku harus menamatkan PM (Fuadi, 2012:376)
Sama halnya dengan tokoh Alif, tokoh Raja Lubis biasa dipanggil Raja yang berasal dari kota Medan sampai dua kali mencoba ikut tes masuk PM karena dari sepuluh bersaudara, dialah yang diberi amanah oleh kedua orang tuanya untuk belajar agama.
Kenapa sampai dua kali mencoba ikut tes masuk PM?” tanya Ustad Salman.
Dengan gagah dia berkata, “Aku ingin menjadi ulama yang intelek, Ustad. Dari sepuluh bersaudara, aku sendirilah yang diberi amanat Ibu dan Bapak untuk belajar agama.”  (Fuadi, 2012: 44)
Selain Alif dan Raja ada Said Jufri atau biasa dipanggil Said, Makhluk paling raksasa di kelas yang berasal dari Surabaya. Dia juga patuh tanpa ada perlawanan  pada orang tuanya atas perjodohan antara dia dan Najwa. Hal tersebut terungkap sebagai berikut.
“Salah satu yang hadir di ceramah itu, calon istriku, Najwa,” katanya berbisik sambil tersenyum lebar. Buru-buru dia merogoh dompetnya, mengeluarkan sebuah pas foto seorang perempuan Arab muda berkerudung hitam. Alisnya hitam pekat dan matanya kejora. Said memang telah dijodohkan dengan salah satu keluarga jauhnya. Kedua belah keluarga setuju, dan menurut Said, dia dan calon istrinya juga tidak keberatan (Fuadii, 2012:224)
Subordinasi di bawah individu tokoh Baso yang bernama lengkap Baso Salahuddin, anggota sahibul menara yang berasal dari Gowa adalah pulangnya dia ke Gowa untuk selamanaya karena kepatuhan dia pada neneknya, keluarga satu-satunya yang dikenal Baso sedangkan kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Simak kutipan berikut.
“Yang sekarang merisaukan hatiku, keluarga satu-satuku, nenekku sendiri, yang aku anggap seperti bapak dan ibuku, sekarang sedang sakit tua. Dia tidak punya anak lagi, orang terdekatnya adalah aku. Dia tidak bisa lagi berjualan dan hanya beristirahat di dalam rumah. Mungkin sudah saatnya aku membalas jasanya..” (Fuadi, 2012:362)
“Ada kabar buruk dan kabar baik. Yang buruknya, nenekku makin sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Dan nenek terus menyebut-menyebut namaku. Aku mohon bantuan doa kalian agar nenekku sembuh.” (Fuadi, 2012:364)
Aku mungkin akan pulang beberapa hari lagi,” jawabnya tegas. Sorot matanya mantap, raut wajahnya kukuh. (Fuadi, 2012:365)
Dan sebagai bukti kepatuhan kepada orang tuanya, Baso ingin memberi jubah surgawi dengan menjadi hafiz atau penghafal Al-Quran. Hal tersebut terungkap berikut ini.
Kalian tahu aku sudah habis-habisan mencoba menghapal Al-Quran. Sudah selama ini, aku baru hapal 10 juz, atau sekitar 2000 ayat. Aku ingin semuanya, lebih dari 6000 ayat. Tahukah kalian, ada sebuah hadits yang mengajarkan bahwa kalau seorang anak menghapal Al-Quran, maka kedua orang tuanya akan mendapat jubah kemuliaan di akhirat nanti. Keselamatan akhirat buat kedua orang tuaku...” dia berhenti. Kilau tadi akhirnya luruh. Menyisakan jejak basah di pipinya. “hanya hapalan... hanya hapalan Quran inilah yang bisa aku berikan untuk membalas kebaikan mereka kepadaku. Aku ingin mereka punya jubah kenuliaan di depan Allah nanti,” katanya sambil mematut-matut foto itu, seakan baru pertama kali melihatnya (Fuadi, 2012:362)
Seperti itulah subordinasi di bawah individu pada sahibul menara yang dikaji dalam NLM. Subordinasi di bawah individu ini berdasarkan ketundukan atau kepatuhan sahibul menara pada orang tua mereka masing-masing. Alif pada perintah Ibunya untuk belajar Agama, Said yang dijodohkan dengan Najwa dari keluarga jauhnya, Raja yang dari sepuluh bersaudara hanya dia yang diberi amanah untuk belajar agama oleh kedua orang tua serta Baso yang harus meninggalkan PM untuk merawat neneknya, satu-satunya keluarga yang dimiliki sebagai tanda baktinya pada keluarga yang masih hidup dan sebagai tanda bakti kepada kedua orang tuanya yang sudah meninggal, Baso menghafal Al-Quran agar kedua orang tuanya yang sudah meninggal mendapat jubah kemuliaan di akhirat nanti, begitulah cara berbaktinya kepada orang tuanya.
2.    SUBORDINASI DI BAWAH KELOMPOK
Subordinasi di bawah kelompok ini berarti kedudukan atau lebih pada kesadaran diri tokoh di bawah kelompok. Kelompok yang dimaksud salah satunya kumpulan siswa PM yaitu Alif, Raja, Said, Baso, Atang, dan Dulmajid karena mereka adalah sahabat (sahibul menara). Subordinasi di bawah kelompok tokoh Alif adalah ketika Alif merasakan bahwa dia adalah siswa yang tergolong kurang mampu. Ketika liburan semester, Alif memutuskan untuk tidak pulang kampung ke Bayur karena dia tidak memiliki biaya. Sedangkan Raja, Said dan teman-teman lain bisa pulang karena mereka memiliki biaya. Ini terbukti pada kutipan berikut.
Malangnya aku termasuk golongan yang kedua. Kiriman weselku selama ini lancar tapi pas-pasan. Ayah dan Amak tampaknya sedang sulit sehingga tidak ada dana khusus untuk libur pulang ke Padang. Aku sudah mencoba bertanya, tapi mereka berdua baru bisa mengirimkan uang tambahan minggu depan. Sudah terlalu terlambat untuk berlibur (Fuadi, 2012:214).
Subordinasi di bawah kelompok tokoh Alif bukan hanya tentang materi, akan tetapi Alif juga termasuk siswa yang kurang mampu dalam menghafal syair Arab. Berbeda dengan Baso yang paling pintar dalam menghafal.
Entah chip apa yang kurang di kepalaku , begitu berhadapan dengan hapalan, otakku langsung hang. Bagiku, menghapal letterleks adalah cobaan pedih. Yang membuatku berkeringat adalah keharusan menghafal di luar kepala setiap bait kata mutiara ini secepatnya. Secepatnya artinya ya dihapal saat itu juga ketika diajarkan (Fuadi, 2012:116).
Nasibku sangat berbeda dengan Baso. Di mataku, dia penghapal paling sakti yang pernah ada. Beri dia satu syair Arab, dalam hitungan helaan napas, langsung diserap memorinya. Beri dia satu halaman penuh bertuliskan Arab, dalam hitungan menit, dia hapal di luar kepala. Kalau penasaran menguji hapalannya, silakan bait dibolak-balik, dipotong sana-sini, sama saja, sia pasti bisa meneruskan. Semua tercetak paten di otaknya. Mungkin ini yang disebut photographic memory. Dia bagai mutiara dari kampong Gowa (Fuadi, 2012:116—117).
Subordinasi di bawah kelompok juga terjadi pada tokoh Baso. Baso juga tergolong siswa dengan kelas sosial kurang mampu. Dia juga memutuskan untuk tidak pulang kampung. Ini terbukti pada kutipan sebagai berikut.
Aku tidak sendiri. Baso juga tinggal di PM dengan alasan yang sama. Raja tidak pulang ke Medan, tapi ke rumah tulang-nya di Jakarta. Sedangkan sisa Sahibul Menara pulang berlibur (Fuadi, 2012:214).
“Walau aku ingin menambah hapalan Al-Quranku, tapi itu bisa dilakukan setelah libur. Masalahku sama dengan Alif. Aku muflis. Bokek!” Baso menyumbang bunyi (Fuadi, 2012:217).
Baso juga mengalami subordinasi di bawah kelompok tentang dirinya yang kurang mampu dalam pelajaran Reading bahasa Inggris. Ini terbukti dengan kutipan sebagai berikut.
Baso terus memperlihatkan kehebatannya di semua pelajaran, kecuali mata pelajaran Reading. Dia mati kutu dan harus sesak napas sampai bermandikan keringat untuk mengulang ejaan dengan benar (Fuadi, 2012:118).
Seperti itulah subordinasi di bawah kelompok pada novel Negeri 5 Menara. Tokoh Alif dan Baso yang sering mengalami subordinasi di bawah kelompok. Karena mereka tergolong sahibul menara yang kurang mampu, mengakibatkan keberadaan mereka berbeda dengan sahibul menara yang lain. Alif dan Baso tidak dapat pulang kampung dikarenakan mereka tidak mempunyai biaya, berbeda dengan sahibul menara yang lain. Kemudian Baso dan Alif mengalami kurangnya pemahaman terhadap mata pelajaran tertentu. Baso kurang pintar dalam pelajaran bahasa Inggris sedangkan Alif kurang pintar dalam pelajaran bahasa Arab. Namun dengan kekurangan tersebut, mereka berdua saling membantu agar mereka bisa lebih memahami mata pelajaran yang belum dikuasai.

3.    SUBORDINASI DIBAWAH PRINSIP ATAU PERATURAN YANG IMPERSONAL

Subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal yaitu ketundukan atau kepatuhan sahibul menara terhadap hukum yang ada di PM, yang disebut qanun. Sahibul menara pernah dihukum jewer berantai karena telat 5 menit ke masjid untuk salat maghrib berjamaah sesuai qanun atau peraturan PM. Mereka telat karena terlalu lama memilih shunduq atau lemari salah satu benda yang wajib dimiliki murid semester pertama PM. Setelah dijewer berantai oleh Rajab Sujai yang kemudian mereka juluki Tyson, mereka dipanggil ke Kantor Keamanan Pusat dan dijadikan  jasus atau mata-mata sebagai hukuman mereka yang telah melanggar peraturan PM. Ini terbukti pada kutipan berikut.
Belum selesai gumamanku, kuping kiriku berdenging dan panas. Tangan Tyson dengan keras memelintir kupingku.
“Jewer kuping teman sebelahmu sekuat aku menjewermu!” (Fuadi, 2012:67).

“Kalian kami angkat sebagai jasus. Mata-mata,” kata Tyson mengguntur. Tangannya cepat bergerak membagikan kepada setiap orang dua kertas berukuran dua kali KTP. Aku menerimanya dengan tangan gemetar dan basah (Fuadi, 2012:75).

Seperti itulah hukum atau peraturan yang berada dalam PM bila dilanggar. Hukum tetaplah hukum, bila terjadi pelanggaran maka orang itu akan mendapat sanksi. Qanun atau peraturan dan disiplin PM dibacakan agar tidak mudah dilupakan dan diterapkan lain halnya bila ditulis akan mudah dilupakan apalagi diterapkan. Pembacaan qanun hanya sekali karena diharapkan semua orang mencatat dalam hati masing-masing dan siap melaksanakannya. Aturan akan ditegakkan dengan tegas. Kepastian hukum menjadi penglima. Setiap pelanggar aturan akan dipanggil dan disidang di Mahkamah Disiplin. Berikut qanun yang harus dipahami dan dipatuhi oleh warga PM.
1.      Jadwal bangun pagi jam 4.30 dan waktu boleh tidur jam 9.30 malam. Di antara itu jadwal telah diatur dengan ketat oleh lonceng. Disiplin waktu ditegakkan dengan ketat.
2.      Semua harus mengikuti aturan berpakaian sopan dan pada tempatnya. Ada pakaian olah raga, pakaian sekolah, dan pakaian ke masjid.
3.      Setiap orang harus memakai papan nama kapan saja dan di mana saja.
4.      Tidak dibenarkan memakai bahasa daerah dan bahasa Indonesia.
5.      Tiga kali seminggu waktu latihan pidato dalam bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia.
6.      Hari Kamis sore waktu latihan pramuka.
7.      Pelanggaran berat adalah mencuri, berkelahi, dan berhubungan dekat dengan perempuan. Hukumannya adalah dipulangkan.
8.      Semua murid harus menjaga milik mereka sendiri dengan baik. Lemari dikunci, sandal, buku, dan barang lain diberi nama.
9.      Ketertiban akan diatur oleh bagian keamanan dan bahasa diatur oleh bagian penggerak bahasa.
10.  Semua perizinan tidak masuk kelas dan tidak ikut kegiatan harus melalui rekomendasi dan tasrih atau surat keterangan izin dari wali kelas.
11.  Aturan harus diikuti dan ada hukuman bagi yang melanggar. Semua aturan ini harus diikuti tanpa kecuali.
12.  Hari sekolah dari hari Sabtu sampai Kamis dan Jumat libur.
13.  Setiap pelanggar aturan akan dipanggil dan disidang di mahkamah disiplin.
            Namun selain mendapat hukuman sahibul menara juga memegang kepemimpinan ketika duduk di kelas lima. Dalam sebuah minggu yang disebut “pekan penyerahan kekuasaan” secara bergantian mereka dipanggil ke KP untuk diserahi tanggung jawab baru baik sebagai pengurus asrama atau pengurus pusat. Di antara sahibul menara yang pertama dipanggil adalah Said. Dia menjabat sebagai anggota elit, tujuh orang terpilih pembela keamanan dunia PM. Simak kutipan berikut.
“Aku menjadi ketua tukang sensor!” katanya tersneyum memperlihatkan sebuah surat bersampul coklat. Kami tertawa dan menepuk-nepuk punggungnya, memberi selamat atas jabatan baru ini: menjadi anggota elit “The Magnificent Seven”, tujuh orang terpilih pembela keamanan dunia PM (Fuadi, 2012:299).
      
            Selanjutnya yang terpanggil adalah Raja, dia dipercaya menjadi anggota penggerak bahasa pusat yang menjaga program pengembangan bahasa dan menjaga kedisiplinannya. Penggerak bahasa pusat adalah hakim tertinggi untuk menghukum para pelanggar bahasa. Tiga orang penggerak bahasa pusat harus mempunyai kemampuan bahasa Arab dan Inggris yang superior dan menjadi role model            untuk semua murid. Raja adalah orang yang sangat menggebu-gebu mendalami aneka bahasa, khususnya bahasa Inggris. Berkali-kali dia menjadi juara dalam lomba public speaking antar asrama dan antar kelas, baik bahasa Indonesia, Inggris, atau Arab. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.
“Bukan. Aku dipercaya jadi anggota The Three Muskeeters,” katanya bersemangat. Three Muskeeters adalah julukan kami di PM bagi tiga orang penggerak bahasa pusat. Mereka yang mnejaga program pengembangan bahasa dan menjaga kedisiplinannya. Mereka hakim tertinggi untuk menghukum pelanggar bahasa. Tiga orang ini punya kemampuan bahasa Arab dan Inggris yang superior dan menjadi role model buat semua murid. Bagiku, Raja telah lama menjadi role model. Sejak hari pertama di PM, dia seorang yang menggebu-gebu mendalami aneka bahasa, khususnya bahasa Inggris. Kemampuan pidato dan debat adalah bidang lain yang diasah. Berkali-kali dia menyabet juara dalam lomba public speaking antar asrama dan antar kelas, baik bahasa Indonesia, Inggris atau Arab (Fuadi, 2012:301)
            Alif, Atang, Baso, dan Dulmajid dipanggil secara bersamaan. Alif ditawarkan dua posisi, yang pertama Penggerak Bahasa Asrama Cordova, yang kedua redaktur majalah Syams. Karena Alif bingung ia diberi keringanan untuk mencoba salah satunya selama sebulan dan yang pertama dicoba adalah pilihan yang pertama. Namun setelah dijalani Alif merasa tidak cocok lalu Alif lebih memilih pilihan yang kedua yaitu menjadi redaktur majalah Syams. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut.
……… tapi setelah beberapa kali menjadi hakim bahasa seperti ini, aku tahu kalau aku tidak menikmati mengadili dan menghukum orang. Aku segera melapor Ustad Torik dan dia setuju memindahkan aku ke majalah Syams, bergabung dengan Dulmajid yang telah dua minggu tinggal di kantor majalah, sebuah ruangan yang sangat strategis di sebelah tempat penerimaan tamu. Tempatnya yang tinggi di lantai dua memungkinkan kami melihat situasi PM (Fuadi, 2012:309—310).
            Berbeda dengan Alif, Atang mendapat kepercayaan menjadi Dewan Kesenian Pusat. Seperti yang pernah dicita-citakannya. Sedangkan Dulmajid mendapat kepercayaan menjadi salah seorang dari lima redaktur majalah Syams. Lain halnya dengan Baso, dia diminta KP untuk menjabat sebagai “Penggerak Bahasa Pusat”, bersama Raja. Simak kutipan berikut.
Atang yang pernah bercita-cita menjadi bagian penerimaan tamu, mendapat kepercayaan menjadi Dewan Kesenian Pusat. Selama beberapa tahun ini, jiwa seni yang mengalir deras di tubuh Atang terus bertambah. Dia tidak membatasi diri dengan teater saja. Dia menerobos seni lain dengan belajar musik, seni kaligrafi, sampai pantomim. Tahun lalu, dia bahkan masuk ke dunia lain lagi, mendalami apa itu seni tasawuf dan sufi melalui buku-buku Al-Ghazali. Kombinasi unik antara seniman dan sufi ini membuat karya teaternya sekarang lebih spiritual. Satu hal yang masih membuat dia was-was adalah dia masih harus bekerja keras untuk menajamkan hapalan dan bahasa Arabnya (Fuadi, 2012:304).
Dulmajid, kawan Maduraku yang lugu, mendapat jabatan yang mungkin paling tepat: salah seorang dari lima redaktur majalah Syams. Selama ini dia adalah sosok yang selalu serius dan keras hati untuk merebut target-targetnya (Fuadi, 2012:304—305).
Walau kelihatannya tidak fokus, tapi tidak pernah ketinggalan pelajaran. Kosa katanya sangat kaya, tata bahasanya luar biasa, dan aksen Arabnya luar biasa basah. Karena kelebihan inilah dia kemudian diminta KP untuk menjabat sebagai “Penggerak Bahasa Pusat”, bersama Raja. Sebuah jabatan yang menurutku sangat pantas (Fuadi, 2012:306).
            Seperti itulah subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal di novel Negeri 5 Menara. Setiap siswa diharuskan mematuhi prinsip dan peraturan di PM. Sahibul menara yang telah melakukan kesalahan dan pelanggaran pasti mendapatkan hukuman. Sahibul menara yang sudah menginjakkan kaki di kelas lima, mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan prinsip dan peraturan di PM.
4.      SIMPULAN
Pola interkasi yang terdapat dalam novel NLM meliputi tiga hal yaitu: subordinasi di bawah seorang individu, subordinasi di bawah kelompok, dan subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal. Subordinasi di bawah individu ini berdasarkan ketundukan atau kepatuhan sahibul menara pada orang tua mereka masing-masing salah satunya Alif pada perintah Ibunya untuk belajar Agama.
Subordinasi di bawah kelompok ini berarti kedudukan tokoh di bawah kelompok. Kelompok yang dimaksud adalah sahibul menara yang beranggotakan  Alif, Raja, Said, Baso, Atang, dan Dulmajid. Subordinasi di bawah kelompok terjadi pada beberapa tokoh. Alif dan Baso adalah tokoh yang mengalami subordinasi di bawah kelompok. Alif dan Baso adalah sahibul menara yang tergolong kelas sosial kurang mampu, sehingga ada beberapa hal yang membedakan mereka dari sahibul menara yang lain. Salah satunya adalah ketika mereka tak bisa pulang kampong dikarenakan biaya.
Subordinasi di bawah prinsip atau peraturan yang impersonal yaitu ketundukan atau kepatuhan sahibul menara terhadap hukum yang ada di PM, yang disebut qanun. Subordinasi ketiga ini dialami oleh Sahibul menara, mereka diharuskan untuk mematuhi semua peraturan yang ada di PM. Setiap peraturan yang dilanggar akan mendapat hukuman. Sahibul menara juga pernah melanggar peraturan dan mendapat hukuman. Namun pada saat sahibul menara berada di kelas lima, mereka mendapatkan tanggung jawab penuh untuk memimpin suatu kekuasaan yang ada di PM.










DAFTAR PUSTAKA
Faruk, 2010. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fuadi, Ahmad. 2012. Negeri 5 Menara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Horizon Kritik Sastra – Tengsoe Tjahjono.
Pradopo, Racmat Djoko. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra Teori dan Penerapannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


4 komentar: